DALAM
PELUKAN SENJA
OLEH: RENI SOENGKUNIE
Aku
mengucap salam dua kali. Menoleh ke kanan dan kiri. Kututup wajah lelahku
dengan kedua telepak tanganku. Aku melipat kedua kakiku, tersimpuh syahdu. Aku
menatap lurus kedepan. Menatap dengan pandangan iba dan penuh pengharapan. Aku
tersenyum. Aku percaya sesuatu didepanku ini mendengar dan memperhatikan si tua
ini yang tengah mengadu. Namun hanya ada sebuah mimbar bercat coklat yang telah
rapuh. Sebuah bingkai usang yang bertuliskan kaligrafi. Tak ada seorang pun di
tempat ini. Hanya ada aku sendiri di masjid ini. Masjid ini tak seramai dulu
lagi. Dulu setiap adzan berkumandang orang-orang berbondong-bondong datang
kemasjid. Hampir semua shaf penuh dengan jamaah sholat. Setiap sore ada tawa
anak-anak kecil diserambi masjid, melantunkan ayat-ayat Allah. Menyanyikan
senandung sholawat nabi. Memainkan rabana dan belajar memukul beduk. Tapi itu
dulu, dulu sekali, saat tubuhku masih kuat, saat rambutku masih hitam mengkilat
dan wajahku masih bersinar-sinar. Sekarang masjid ini tlah usang di makan
waktu, seperti ragaku yang mulai merapuh dimakan usia. Kini masjid ini sepi.
Sepi dari takbir para jamaah sholat. Dan sekarang tak ada lagi anak-anak yang
bersemangat belajar mengajii di serambi masjid.
Jadi ini yang di katakan orang di
media masa itu. zaman globalisasi. Jamannya orang-orang modern. Apa di jaman
ini masjid itu barang kuno bagi mereka? Atau apakah masjid tak lagi menjadi
tempat paling nyaman di muka bumi ini? Ahhhh...aku tak tahu lah, aku hanyalah
orang jaman dulu yang terdampar di era ini. Di eranya orang-orang modern. Mungkin
di jaman seperti ini orang sudah tak lagi tertarik mendengar suara adzan yang
menggema merdu, syahdu mengajak mereka datang mengadu ketempat ini.
Kulihat arah jarum jam yang telah
menunjukan pukul 12.30 wib. Biasanya jam segini Lastri sudah menunggu ku
didepan pintu. Tersenyum manis menyambutku dan mencium lembut tanganku saat aku
pulang dari masjid. Di atas meja makan tentu dia telah menyiapkan makanan
untukku dan segera mengajakku makan bersama. Dialah, istri sekaligus ibu dari
keempat anakku. Aku masih ingat jelas saat aku pertama kali bertemu dengannya.
Di masjid AL-hikmah, dimasjid inilah aku bertemu dengannya. Saat itu aku
hanyalah seorang pemuda desa yang baru berumur 20 tahun. Pekerjaanku saat itu
hanyalah berladang disawah, membantu simbok, seorang janda yang telah tua.
Terkadang aku sering membetulkan listrik tetangga yang telah mati. Setiap sore
aku pergi ke masjid ini untuk mengajar anak-anak kecil untuk mengaji iqra.
Sore itu tepat hari ketiga di bulan
ramadhan 1401 H. “ Assalamualaikum wara matullaahi wabaroh katu” aku tersenyum.
Kulihat semua anak-anak menjawab salam dariku penuh dengan antusias. Aku begitu
bahagia melihat senyum polos mereka. Senyum penuh kejujuran. Semua lelahku hilang
sudah saat menatap wajah mereka. Mereka seperti anak-anak pada umumnya,
kadangpun aku juga merasa jengkel akan ulah mereka. Kadang aku harus mengelus
dada untuk terus bersabar saat mereka mulai susah untuk ku atur. Aku memang tak
sendiri mengajar mengaji, aku sering di temani mas Toro dan mbak Nur. Merekalah
rekanku menghadapi tingkah para pemimpin kecil di masa depan itu.
“ Assalamualaikum, ” sapa seseorang
dari balik pintu.
Anak-anak menoleh dan menjawab salam. Kulihat
mbak Nur datang bersama seorang perempuan. Mereka menghampiriku.
“ Mana mas Toro, Gus, kok sendirian?” tanya
mbak Nur.
“
Iyah, Mbak, tadi mas Toro ijin katanya ada urusan di kelurahan” jawabku.
Kulihat
anak-anak tengah asik bermain rabana. Aku melirik kearah seorang wanita yang
tengah duduk di samping mbak Nur.
“
Oh, iya, kenalin ini dek Lastri, dia itu keponakannya pakdhe suwar yang tinggal
di Purwokerto, dia mau bantu-bantu kita
ngjarin anak-anak” ucap mbak Nur yang menghilangkan semua rasa penasaranku pada
gadis itu.
Aku tersenyum padanya
dan menjulurkan tangan kananku kearahnya.
“ Agus” kataku sambil menatap wajahnya.
“ Lastri, mas” jawabnya lembut.
Aku
tertegun memandang wajahnya. Dia gadis berkerudung putih. Wajahnya lumayan
cantik. Roman wajahnya begitu teduh dan menentramkan setiap hati yang
melihatnya. Menurut cerita mbak Nur dia akan tinggal di desa ini untuk menemani
pak dhenya. Yang ku tahu pak dhe nya itu orang berada, sawahnya luas dan ternak
banyak. Keluarganya termasuk orang kaya didesa ini. Namun dia begitu santun dan
tak terlihat angkuh bersanding dengan orang yang tak punya. Senyumnya yang
manis itu membuatnya begitu mempesona di mataku.
Senja itulah yang mendekatkanku pada
gadis berparas sendu itu. Dia mulai sering membantuku mengajar ngaji anak-anak.
Ku tahu mbak Nur tak bisa selalu mendampingku, karena dia harus mengurus anak
perempuannya yang sudah berumur dua tahun. Lastri selalu sabar menghadapi
tingkah nakal anak-anak. Dapat kulihat ada jiwa seorang ibu yang melekat pada
dirinya. Bicaranya begitu lembut dan santun. Dia. Begitu menawan di mataku.
Hingga aku begitu bahagia saat berada disampingnya. Dia tak keberatan berteman
dengan pemuda dari keluarga sederhana ini. Aku diam-dia menaruh hati pada gadis
ini. Kedekatan kami selama ini menjembataniku pada sebuah harapan. Mungkin
benar pepatah jawa itu “ wit ing tresno
jalaran seko kulino.”
Apakah
ini yang dinamakan jatuh cinta? Aku tentu tak tahu apa devinisi cinta seperti
yang sering orang kota itu katakan. Aku hanya merasakan bahagia saat melihat
senyum manis dari bibirnya. Aku begitu tentram saat mendengar suaranya saat
melantunkan Ayat suci Al-Quran.Namun apa dayaku, tak ada keberanianku untuk
menyatakan hati ini pada si empunya. Aku tahu diri, siapa aku dan siapa Lastri.
Hingga di suatu malam, setelah sholat
isya aku memberanikan diri untuk bicara pada Lastri. Aku siap menerima semua
kenyataan. Kenyataan kalau lastri ternyata menolak rasa cinta ini padanya.
“ Dek, aku ingin bicara sesuatu”
ucapku malam itu.
“ Mau bicara apa, Mas?” tanyanya
penasaran.
Matanya
melirik kearahku. Penuh tanda tanya akan perkataanku barusan. Debar jantungku
berdetak begitu cepat. Aku tak tau harus memulai pembicaraan ini dari mana.
Begitu banyak hal yang ingin aku ungkapkan padanya, namun mulutku terasa kelu
saat berhadapan dengannya. Dia layaknya sebuah bintang yang mampu kupandang dan
kukagumi keindahannya, bukan untuk kumiliki selamanya. Aku menegakkan kepalaku.
Kukuatkan nyaliku saat dia mulai bingung dengan tingkahku.
“
Seeeee,,,,,sebenarnya aku seneng sama sampean, mau kah jadi istriku!” ucapku
terbata-bata.
Plongggggg rasanya di hati ini. Tak ada lagi
beban yang merengkuh relung hatiku. Kutatap wajahnya yang sendu itu. Mulutnya
membisu tanpa ada jawaban apapun yang terucap dari bibir tipisnya. Aku tak tahu
apa yang harus aku katakan padanya saat dia hnaya terdiam disepanjang jalan.
Aku paham kenapa dia terdiam. Tentu tak mudah bagi gadis anak piyayi menerima
lamaran seorang pemuda yang tak tentu penghasilannya. Aku yang apa adannya. Aku
hanya bisa menjanjikan kehidupan yang penuh kasih sayang. Menjanjikan sebuah
kesungguhan untuk membuatnya selalu tersenyum disetiap malam ynag akan
membawanya terlelap tidur.
Di terangi lampu neon, aku berdiri
didepan rumah Lastri. Dia masih terdiam membisu.
“
Aku pamit, yah! Aku minta maaf kalau sudah lancang bicara seperti tadi” ucapku
sambil berpaling pulang.
“ Tunggu, Mas” cegahnya.
Aku menoleh. Dipandangnya mataku lekat-lekat.
Dia tersenyum.
“
Insyaallah, aku bersedia menua denganmu, biar aku bilang pakdhe kalau besok
sore, Mas mau kerumah”.
Aku
tak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. Ingin rasanya aku pergi ke
masjid dan memberi tahu semua orang desa dengan mikrofon bahwa aku tengah
bahagia. Di malam inilah kulihat beribu bintang ikut tersenyum atas
kebahagianku, berkelip-kelip penuh suka. Aku kira gadis itu akan menolak
permintaan hati pemuda ini. Sungguh aku begitu bahagia malam itu.
Aku tak pernah menyesal memiliki
perempuan yang kini menjadi istriku itu. Aku begitu kagum dengan ketulusan
hatinya. Di hadapanku dia selalu tersenyum dan tak pernah kudengar dia mengeluh
diatas kekurangan kami. Dialah seorang istri yang melahirkan ke empat anakku.
Selama puluhan tahun dia begitu setia mendampingiku. Menjalani hari-hari yang tak
begitu mudah dilalui.
Membesarkan empat orang anak tentu
tak begitu mudah bagi kami yang hanya berpenghasilan tani. Dialah perempuan
yang mampu menenangkanku dalam kemelut kehidupan ini. Di pangkuannyalah aku
terlelap akan lelahnya hidup. Dia selalu tersenyum dan senyum ynag manis
seperti saat kami pertama kali bertemu saat itu. semua rasa lelah, letih, penat
dan capekku sirnah semua saat melihatnya tersenyum menyambutku pulang dari
sawah. Saat malam datang aku sering mendengar dia menyanyikan lagu nina bobo
untuk si bungsu, anak perempuanku satu-satunya. Dia tak hanya istri yang baik
namun seorang ibu yang begitu penyayang.
“ Mas, istirahat dulu” bisiknya saat
kantuk tak juga menghinggapiku ditengah malam.
Aku memandang wajahnya lekat-lekat. Dia memang
tak secantik dulu lagi. Tua merengkut wajah mulusnya. Uban pun mulai menyemai
di rambut panjangnya. Kini dia semakin kurus dan keriput. Matanya sendu penuh
kehangatan. Dia tetap Lastriku yang dulu. Lastriku yang begitu aku kagumi. Walau
kini raganya begitu rapuh terbaring ditempat tidur. Aku masih ingat jelas
perkataan Lastri terakhir kalinya.
“
Maafkan aku jika selama aku menjadi istrimu aku berbuat salah, aku titip
anak-anak padamu.”
Dia
telah pergi di senja yang telah merenggut mudaku. Aku hanya seorang suami yang
tak berdaya saat itu, saat Allah mengirimkan malaikatnya untuk membawanya pergi
dari hidupku. Aku hanya seorang laki-laki biasa yang hanya bisa menangis
melihatnya terkulai tak bernyawa.
Aku tertegun ketika jam di masjid
berdetak tiga kali. Tak terasa wajahku telah basah dengan air mata. Air mata
dari masa laluku. Perasaan baru kemarin saja aku bertemu gadis semampai itu
ditempat ini. Namun kini dia telah pergi. Pergi jauh, meninggalkanku senderian
menei dikehidupan ini. Kini rumah begitu sepi tanpa senyumnya. tua ini. Lastri,
kini anak-anak kita tlah dewasa, tak lagi anak kecil yang bergelayut manja pada
ibunya. Mereka tlah benar-benar dewasa seperti kita dulu. Mereka tlah memiliki
kehidupannya sendiri. Kutahu mereka sudah bisa mencari apapun yang mereka ingin
tanpa merengek padaku lagi. Mereka tak lagi menungguku pulang dari sawah. Kini
mereka tlah sibuk dan hanya menemuiku saat lebaran tiba. Dan di
masjid inilah aku tumpahkan semua rasa rinduku pada istriku yang begitu aku
cintai.
Senja kembali datang, sebentar lagi
Ashar. Aku segera bangun dan bergegas mengambil air wudhu. Ku kumandangkan
Adzan. Menyeru kebesaran Allah di pelosok desa ini. Mengajak warga desa untuk
datang ke rumah Allah ini. Disinilah dirumah Allah, kudipertemukan gadis yang
begitu istimewa. Dia hadiah terindah yang diberkan Tuhan untukku. Dan kini ku
iklaskan dia diambil kembali oleh pemiliknya.
“ Jadikan dia penghuni surga karena
kesholehannya, ya Allah dan pertemukan kami di pembatas kehidupan ini kelak di
tempat terindah-Mu. Rabana atina fidunza hasana wafila qiroti hasana wakina ada
bana. Amin” kututup wajahku di senja ini.
***
Batam, 18 November 2011
maasyaAllah.. saya sampai menitikan air mata. tulisan yg sangat bagus
BalasHapus