![]() |
Mata Yang Enak
Dipandang merupakan kumpulan cerpen yang terdiri dari lima belas cerita. Tak
ada kesinambungan dari satu cerpen dan cerpen lainnya, namun jika kita menraik
benang merahnya, semua cerita dalam kumcer yang ditulis oleh Ahmad Tohari ini
kebanyakan merupakan sebuah cerita tentang jeritan kaum marginal. Dengan latar,
alur, serta penokohan yang berbeda, kita akan diajak menyelami satu-persatu
persoalan yang dialami oleh para orang’kere’ di negeri ini.
Sebenarnya
cerpen-cerpen di dalam buku ini sebagian sudah pernah dimuat baik itu di
majalah ataupun Koran, terlebih cerita ini dibuat sekitar tahun 90’an. Sudah
cukup lama. Tapi menurut saya, semua masalah dan cerita di dalam buku ini masih
tetap relevan untuk dibaca di zaman ini. Memangnya masalah orang miskin itu apa
aja sih? Palingan juga masalah tentang ekonomi, sosial, serta serentetan
kebijakan yang selalu dibuat untuk menyengsarakan kaum bawah.
Tulisan Ahmad Tohari
sendiri sangat khas dalam bidang deskripsi. Beliau sangat piawai dalam
menggambarkan tempat, suasana, hingga kegelisahan yang dialami setiap tokoh.
Semuanya snagat natural, dan tanpa kita sadari, imajinasi kita bakalan diseret
paksa untuk mausk dalam cerita tersebut. Kita akan merasa berada di tempat
kejadian, lalu kita kan merasakan sesak di dada, sedih, pilu, dan miris secara
bersamaan. Semakin kita mendalami cerita tersebut, semakin kita larut akan
penderitaan yang dialami oleh rakyat-rakyat jelata.
Untuk cerpen dengan
judul Mata Yang Enak dipandang merupakan cerpen yang bercerita tentang seorang
pengemis tua yang kedua matanya sudah keropos. Di tengah ramainya lautan
manusia tersebut, tak ada yang peduli padanya. Kecuali seorang lelaki bernama
Tarsa, seseorang yang setiap hari menuntunya dan bergantung hidup dari lelaki
tua buta tersebut. Keduanya mnecari orang-orang dengan mata yang enak dipandang
di gerbong kereta ekonomi, karena mustahil menemukan orang yang matanya enak
dipandang di gerbong kereta eksekutif. Sepertii yang kita tahu, para orang kaya
itu biasanya bermata dingin saat melihat gembel yang suka meminta-minta.
Beberapa dari mereka jangankan memberi uang, untuk melihat ke arahnya saja
mereka kadang enggan.
Cerpen yang berjudul
‘Dawir, Turah, dan Totol’ sendiri bercerita tentang kehidupan anak-anak
gelandangan yang hidup di terminal. Sebuah kisah yang mungkin biasa kita tahu
sebagai sampah masyarakat, namun tanpa kita ketahui, hidup sebagai anak jalanan
itu bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Mereka harus bergelut dengan
kebijakan pemerintah tentang pembaharuan terminal, harus berhadapan dengan para
preman, bersinggungan dengan aparat, dan juga dengan kelaparan serta penyakit.
Buku ini merupakan
percampuran duka para kaum miskin di negeri ini. tentang wanita penghibur yang
tadinya merupakan perempuan baik-baik sebelum akhirnya suaminya meninggal
dunia. Ada kisah tentang penulis kere yang betapa susahnya mendapatkan uang
dari hasil tulisannya. Sebuah hasil kerjakeras yang tiada menghasilkan, walau
sekadar untuk biaya makan sehari-hari. Ada juga kisah tentang para penipu yang
suka menjual belas kasihan serta cerita fiktif untuk menghasilkan uang. Ada
mereka yang baik hati dan sangat suka membantu, tapi mendadak menjadi manusia
yang berbeda setelah diberi jabatan dan uang. Ada ibu yang sampai tega
memasakan daun bleketepuk agar anaknya bisa terlelap tidur karena kedua si ibu
tak punya uang untuk menuruti keinginannya. Gambaran-gambaran kemalangan ini
sangat lazim kita jumpai di kalangan orang tak punya. Seolah kesedihan, kelaparan,
kesengsaraan, merupakan sahabat yang tak terpisahkan.
Tiga belas cerita cukup
membuat saya merasakan sesak di dada, dan dua cerita terakhir tak hanya membuat
saya merasakan sesak tapi juga menangis sesenggukan. Duh, kalau sudah bercerita
tentang sosok ayah, saya sudah tak berdaya. Bawaanya langusung mewek.
Judul: Mata Yang Enak Dipandang
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Cetakan ketiga, Januari 2019
ISBN: 9786020300567
Tidak ada komentar