Sebagai manusia biasa, tentu ada kalanya kita merasa insecure dengan diri sendiri. Entah itu karena ada jerawat di wajah, ukuran tubuh yang melebar, warna kulit yang menghitam, tinggi badan yang terlalu pendek , terlalu tinggi, dan lain sebagainya. Gara-gara hal itu tak jarang kita merasa minder dan tidak percaya diri karena tubuh yang kita miliki. Kita selalu merasa jelek, jelek, dan jelek terus. Merasa kurang dan merasa tidak pantas mendapatkan hal baik.
Saat masih Sekolah Dasar dulu saya mengalami situasi yang kurang menguntungkan. Terlahir dari keluarga yang serba pas-pasan atau bisa dibilang dari keluarga yang kurang mampu, saya juga kebetulan punya bentuk wajah yang juga serba pas-pasan. Kulit relatif cokelat tua, muka kusam, dan rambut keriting. Kalau saja saat itu mental saya tak tahan banting, pasti saya sudah merasa rendah diri saat harus disandingkan dengan teman-teman sekelas saya yang rata-rata dari keluarga berada.
Saya hanya anak kecil seperti layaknya anak-anak lainnya kala itu. Saya juga kadang merasa iri dengan sepatu dan tas teman-teman saya yang bagus-bagus. Saya juga gak munafik bahwa saya merasa iri dengan wajah teman-teman saya yang terlihat lebih cantik dari saya. Saya merasa benar-benar kecil saat teman-teman mengolok-olok sepatu saya yang jelek dan wajah saya yang hitam pekat serta rambut kayak bakmi. Dari SD saya bahkan punya julukan ‘Mukri’ alias monyet keriting. Hampir semua teman-teman saya memanggil saya dengan sebutan itu.
Belum lagi saya punya tahi lalat besar di atas mulut. Dari SD hingga lulus sekolah SMA banyak sekali teman saya yang suka mengolok-olok hal ini, bahkan ada seorang guru juga yang sampai menyebut saya dengan ‘Dewi andeng-andeng’ karena tahi lalat ini.
Suatu hari saya mengeluh pada Bapak tentang hal ini. Lalu betapa terkejutnya saya ketika bapak justru mengiyakan dan sependapat dengan perkataan teman-teman saya. Bapak bilang, “Bukannya kamu memang dari keluarga miskin?” Saya mengangguk.
“Bukannya kulitmu memang berwarna hitam dan rambutmu memang keriting?” Saya kembali mengangguk.
“Apa kamu monyet?” Saya menggeleng.
Bapak tersenyum dan bilang pada saya, “Kalau semua yang dikatakan teman-temanmu itu memang benar adanya dan kamu bukan seekor monyet, lalu untuk apa kamu merasa kesal dan marah pada mereka?”
Dari kata-kata itu Bapak seolah mengajari saya untuk menerima diri saya sendiri. Menerima takdir saya yang memang terlahir dari keluarga yang kurang mampu sehingga hanya bisa membeli sepatu dan tas seadanya. Menerima takdir saya bahwa saya memang terlahir dengan kulit yang berwarna gelap dan rambut yang keriting. Setelah saya menerima segala kekurangan saya ini, Bapak kemudian mengajari saya untuk menggali potensi dari dalam diri saya. Bapak mengingatkan bahwa manusia itu tumbuh dan berkembang. Di sinilah bapak ingin saya belajar satu hal bahwa saya mungkin terlahir tidak kaya dan tidak berkulit putih, tapi saya punya potensi lain di dalam tubuh saya ini.
Dengan banyak belajar saya jadi paham bahwa saya harus menerima diri saya sendiri. Kalau saya saja tak mau menghargai dan mencintai diri sendiri, lalu untuk apa orang-orang mau menghargai saya? Semua harus dimulai dari diri saya sendiri.
Setiap pagi, saya selalu melihat wajah saya di cermin sebelum berangkat ke sekolah. Saya katakan pada diri saya sendiri, “Kamu cantik tanpa tapi.” Toh, tubuh saya sempurna tidak ada kekurangan apa pun. Semua berfungsi normal. Harusnya saya mencintai tubuh yang sudah saya ajak berjuang bersama ini.
Setelah kejadian itu, tiap kali saya diejek jelek atau dijuluki si hitam keriting, saya menjadi biasa saja. Saya memandangi mereka dan membela diri saya sendiri. Saya selalu menanamkan sebuah sugesti pada diri saya sendiri bahwa saya cantik, saya cantik, dan saya cantik tanpa tapi. Gak papa saya hitam , saya tetap cantik kok. Gak apa saya keriting, saya tetap cantik kok. Kalau bukan saya sendiri yang mencintai diri sendiri, lantas siapa lagi?
Tak tahu kenapa sugesti ini saya bawa hingga saya tumbuh dewasa. Saya lebih percaya diri dengan penampilan dan bentuk wajah saya yang gak beda jauh dari waktu saya kecil dulu. Saya mulai terbiasa bicara di depan umum. Saya lebih kebal dengan kritikan atau olok-olok yang mengarah pada body shaming.
Ternyata saat kita mau menerima kekurangan pada diri kita, maka kita kan mudah mencintai diri kita sendiri. Kita tentu akan menghargai dan menghormati diri kita, sehingga tak akan membiarkan orang lain merendahkan dan melukai diri kita. Kita harus menanamkan health positivity pada tubuh yang kita miliki.
#ODOPDAY9 #ODOP8
Tidak ada komentar