Beberapa saat lalu Bu Tejo sempat menggemparkan media sosial dengan bakat fasihnya dalam berghibah. Bu Tejo dengan omongan luwesnya dan celoteh natural ala ibu-ibu di masyarakat kita itu nampak mencuri perhatian netizen. Seolah orang-orang yang sadar bahwa budaya berghibah ini sudah mendarah daging di kehidupannya lantas memproklamasikan diri dengan peryataan, “Bu Tejo adalah kita”.
Tilik sendiri merupakan salah satu budaya bangsa kita. Di mana saat ada tetangga atau kerabat yang tengah sakit, maka orang-orang di sekitarnya akan berbondong-bondong menengoknya ke rumah sakit. Film ini mengambil latar kehidupan orang Bantul, tepatnya di daerah Dlingo. Para ibu-ibu ini rencananya mau turun gunung untuk berkunjung ke PKU Muhammadiyah Gamping guna menjenguk Bu Lurah yang tengah sakit.
Selama perjalanan inilah yang membuat film ini menarik dengan obrolan BUuTejo yang tak henti-hentinya mereview kehidupan Dian, si kembang desa yang masih saja melajang meski usianya sudah bisa dibilang siap nikah. Bu Tejo yang merupakan bagian intelejen ini, mengulik serba-serbi serta mengulas sisi-sisi Dian yang belum diketahui oleh para ibu-ibu. Bu Tejo seolah ingin mengajak para ibu-ibu kampung ini untuk bersikap rasional dan melek teknologi dengan mengikuti perkembangan media sosial.
Sebenarnya menurut saya apa yang dilakukan oleh Bu Tejo ini sungguh nggak penting banget. Walaupun benar ya, Dian ini bukan gadis baik-baik, toh, itu urusannya Dian. Selama itu tidak merugikan orang lain, menurut saya itu nggak masalah sama sekali. Saya kira endingnya itu, Dian bakal sama Pak Tejo. Kalau ini saya setuju, kalau seumpama Bu Tejo semangat banget buat mengulas sisi jelek Dian, lah ini, orang nggak ada hubungannya juga.
Mau seburuk apa pun itu, semua itu merupakan tanggung jawab Dian sendiri, hanya saja di masyarakat kita, lingkungan sangat berperan aktif dengan perilaku seseorang. Ibarat satu orang yang polah, semua orang yang bakal ceramah. Di film ini ada juga tokoh Yu Ning yang tetap berpikir positif meski bertubi-tubi mendapat serangan kenyataan yang dipaparkan oleh Bu Tejo. Kita butuh orang-orang seperti ini dalam menangkis info-info yang sebenarnya nggak penting dan menyudutkan orang lain meski belum tahu kebenarannya.
Untuk film Cream sendiri kasusnya juga tak beda jauh. Semua berawal dari informasi media sosial. Seorang ilmuawan ini sebenarnya punya niatan baik untuk membuat sebuah cream ajaib yang bisa menyelesaikan segala urusan atau masalah manusia. Hanya saja tentu ada orang-orang yang kurang suka dengan segala kemudahan yang bisa dirasakan oleh semua orang. Kalau semua mudah, lalu bagaimana mereka akan minta tolong?
Hingga tersebarlah berita hoaks untuk meyakinkan masyarakat bahwa cream yang diedarkan tersebut bisa membahayakan manusia yang memakainya. Manusia-manusia yang hanya peduli dengan berita tanpa mau mempelajari lebih dalam, tentu bakal percaya dengan omong kosong itu. Mereka enggan mengulik kejelasan lebih dalam dan ikut serta orang lain untuk berhenti menggunakan cream tersebut.
Ini pentingnya pengetahuan dan ilmu dalam mencerna sesuatu. Entah itu informasi apa pun, kita harus bijak dalam menyaringnya. Jangan ditelan mentah-mentah. Apalagi belum tahu kebenarannya , tapi langsung disebarkan pada banyak orang. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.
Tidak ada komentar